Selasa, 08 November 2016

Resensi Novel "Padang Ilalang di belakang Rumah" Karya Nh. Dini



Resensi Novel “Padang Ilalang Di Belakang Rumah”
Oleh: Nh. Dini


(Sumber:https://www.google.co.id/search?q=padang+ilalang+di+belakang+rumah+identitas+novel&client+ms-android-oppo&prmd=inv&source=lnms&tbm=isch&sa=X&ved=0ahUKEwi9zPjBw5rQAhXEKY8KHf76DkQQ_AUIBygB&biw=360&bih=559#tbm=isch&q=+ilalang+di+belakang+rumah+identitas+novel+cover&imgrc=B4oJDs8dP4n_EM%3A)

A. Identitas Novel
a.       Judul Novel                        : Padang Ilalang di Belakang Rumah
b.      Pengarang                           : Nh. Dini
c.       Tahun Terbit                       : 2004
d.      Kota Terbit                         : Jakarta
B. Kepengarangan
       Nurhayati Srihardini Siti Nukatin, atau lebih dikenal dengan Nh. Dini, lahir di Semarang, Jawa Tengah, 29 Februari 1936, usia 80 tahun, mengikuti Kursus Pramugari Darat GIA Jakarta (1956), dan terakhir mengikuti kursus B-I Jurusan Sejarah (1957). Tahun 1957-1960 bekerja di GIA Kemayoran, Jakarta. Setelah menikah dengan Yves Coffin, berturut-turut ia bermukin di Jepang, Perancis, Amerika Serikat, dan sejak 1980 menetap di Jakarta dan Semarang. Nh. Dini adalah sastrawan, novelis, dan feminis Indonesia.
       Karyanya: Dua Dunia (1956), Hati yang Damai (1961), Pada Sebuah Kapal (1973), Sebuah Lorong di Kotaku (1978), La Barka (1975), Namaku Hiroko (1977). Terjemahnnya: Sampar (karya Albert Gamus, La Peste; 1985).
C. Sinopsis
            Aku hidup dalam sebuah keluarga yang berkecukupan dan sangat rukun. Aku anak bungsu dari lima bersaudara. Kakakku yang paling tua di mulai dari Heratih, Nugroho, Maryam, dan yang terakhir adalah Teguh. Saat penjajahan Jepang aku masih duduk di bangku sekolah. Rumahku cukup besar dan halamannya cukup luas. Keluargaku adalah keluarga yang cukup berada di kampungku. Di rumah inilah kami mengalami berbagai peristiwa yang menyenangkan. Bersama hewan-hewan peliharaan dan berbagai jenis tumbuhan yang menemani keseharian.
            Sejak kedatangan Jepang ke Indonesia menggantikan posisi Belanda sebagai penjajah, keadaan ekonomi keluarga mengalami kemunduran. Hal ini membuat kedua orangtuaku harus bekerja lebih ekstra. Ibu menerima pesanan kue kering dan memulai membatik untuk menutupi sebagaian biaya hidup. Halaman rumah yang luas dimanfaatkan ibu sebagai tempat membuat kue dan membatik. Dalam suasana itu aku tetap tumbuh dalam kasih sayang kedua orangtuaku, kedua kakak perempuanku, dan kedua kakak laki-lakiku. Aku juga memiliki dua adik sepupu yang kuanggap seperti sahabatku. Edy Sedyawati dan adik perempuannya. Aku bersekolah di sekolah rakyat Pendrikan Tengah. Di samping sekolah terdapat sebuah gedung kecil bernama Eka Kapti. Disana aku menerima pendidikan tari dan gending. Heratih, kakak tertuaku selesai sekolah mendapatkan pekerjaan di kantor telepon dekat alun-alun. Dan akhirnya Heratih menikah dengan kepala kantor telepon di Kendal yang bernama Utono. Ayahku yang bekerja di Stasiun Kereta Api semakin lama semakin sulit mencukupi kebutuhan keluarga kami.
            Suatu hari kepala kampung mendapat perintah dari orang-orang Jepang yang berkuasa, agar penduduk menyerahkan semua harta berharga yang mereka miliki. Patung-patung dan barang-barang yang terbuat dari besi diambil para tentara Jepang. Semua barang itu digunakan untuk dicairkan kembali dan dijadikan senapan atau senjata perang lainnya. Dengan berat hati ibu melepaskan peniti emas dari kebaya dan dua cincin untuk diserahkan kepada tentara Jepang. Ternyata kebebasan yang dijanjikan Jepang hanya janji manis belaka.
            Suatu malam aku terbangun oleh kegaduhan yang terjadi. Saat itu aku mendengar suara senjata api yang disusul oleh keributan orang di kampung. Penduduk berlarian, berteriak dari arah tangsi polisi menuju ke arah sungai di belakang. Dari arah tangsi semakin ramai keributan yang terdengar penghuninya berbondong-bondong ke padang ilalang untuk menyebrang jembatan ke Batan. Ayah mengatakan bahwa akan ada pemberontakan di kalangan pemuda PETA terhadap pemerintah Jepang. Ayah dan kakak-kakak lelakiku mulai mengatur persediaan selama pertempuran terjadi. Karena ayah memerintahkan kami untuk tetap diam di rumah dan tidak mengungsi. Pertempuran berjalan selama lima hari penuh. Di dalam rumah kami hanya menyalakan lilin atau lampu teplok untuk menambah sinar matahari yang masuk dari celah papan. Tetapi jika ada bunyi senapan kami cepat-cepat memadamkannya. Selama itu kami hidup dalam kegelapan. Cukup dengan sedikit nasib buruk, kami bisa menjadi korban peluru nyasar, yang bisa membunuh siapa saja tanpa pandang bulu.
            Beberapa saat setelah itu, suasana tiba-tiba menjadi reda. Selama 1 jam kami tidak mendengar suara tembakan di jalan kampung sebelah rumah. Dan mulailah terdengar orang-orang yang melintasi jalan kampung. Begitu juga dengan kami. Begitu mengejutkan, Maryam melihat lubang-lubang di dinding seng yang menjadi batas halaman. Itu semua adalah bekas peluru. Kami pun berkumpul melihat da mengamatinya dengan saksama. Kemudian diumumkan lewat radio bahwa pemberontakan telah dipadamkan, dan penduduk pun diminta meneruskan kegiatan seperti biasanya. Heratih dan Utono datang ke rumah kami. Bapak pun berangkat mencari paman dan bibi. Sedangkan Teguh melanggar larangan kedua orang tua kami untuk keluar rumah kembali dengan cerita yang menyeramkan. Sungai-sungai penuh dengan bangkai-bangkai manusia, di sepanjang jalan mobil dan berbagai kendaraan rusak dan terbakar. Itu semua adalah bekas peluru. Kami pun berkumpul melihat dan mengamatinya dengan saksama.
            Keesokan harinya aku berangkat ke sekolah. Benar apa yang dikatakan kakakku, aku melihat banyak bangkai-bangkai mayat yang bertumpukan basah dan berbau busuk. Beberapa diantara mereka ada yang memegang bambu runcing dan galah. Kota kemudian dibersihkan/rakyat bergotong royong mengeluarkan mayat dari sungai dan sumur kemudian di kubur. Semua tampak lancar.
            Hari-hari berikutnya sering terdengar suara sirine tanda bahaya udara. Sirine itu hanya terdengar pada waktu siang. Malam hari pemerintah kota membatasi kegiatan sampai jam tujuh. Ayah menyimpulkan bahwa Jepang sedang mengundurkan diri dari tanah Jawa. Ketika keadaaan menjadi tenang kembali, lalu lintas di langit menjadi padat. Kami semua keluar untuk menyaksikan burung-burung raksasa itu bergerombolan di udara, terbang dengan megahnya. Kata Ayah, itu adalah pesawat-pesawat pengangkut.
            Kemudian keadaan menjadi tenang kembali. Untuk berapa lama? Tak seorangpun mengetahuinya. Sudah beberapa kali kami tertipu oleh palsunya keredaan suasana. Pagi itu kabar yang tersebar bahwa tentara Inggris telah dapat menguasai keadaan. Sebentar lagi pemerintah kota akan disusun kembali. Memang betul! Sore hari, pesawat-pesawat udara menyebarkan kertas propaganda, menyuruh penduduk bersikap tenang, karena keamanan telah terjamin.
            Dua hari tanpa keributan. Ibu mulai berharap kehidupan akan benar-benar berlangsung sebagaimana biasa. Beberapa hari setelah itu beredarlah kabar desas-desus bahwa Indonesia telah merdeka. Berita tersebut segera tersebar ke seluruh warga kampung. Setelah itu disusul oleh berita bahwa pemerintahan di Jakarta telah hijrah ke Yogyakarta. Keadaan memang terasa genting. Dan hubungan antara kota-kota yang diduduki tentara asing dengan daerah pedalaman pun terputus. Keraguan pandangan menghadapi hari-hari yang akan datang.
D. Unsur-Unsur Intrinsik
a.       Tema                           : Perjuangan keluarga penulis di masa penjajahan Jepang

b.      Tokoh dan penokohan
1.      Dini                 : Baik, ceria, penurut, pintar
                          Sore itu juga aku dibawa ibu keluar. Kami tidak naik becak. Udara sore selalu nyaman buat berjalan. Aku mengikuti ibuku dari belakang dengan diam-diam.

2.      Ayah               : Baik, tegas, lucu, bertanggung jawab, bijaksana.
                          “Sabtu malam Edi kemari. Kita menonton wayang orang.” Tiba-tiba ayah berkata.

3.      Ibu                   : Jujur, penuh kasih, penyayang, pemurah
Makanan kering yang dimasak ibuku selalu lebih enak dan gurih daripada yag terdapat di toko. Kata ibu, karena dia tidak curang, selalu mempergunakan bahan-bahan sehat dan semestinya.

4.      Heratih                        : Baik dan penyayang
Kakakku sulung itu bersuara asal bersuara  . Dalam hatinya, aku tahu, dia khawatir betul memikirkan nasib adiknya.

5.      Nugroho          : Lucu, penurut, jahil
“Awas! Kau akan berada di situ seterusnya. Kau akan menjadi monyet! Setiap hari dikirim makanan, tapi kau harus hidup di pohon.”

6.      Maryam           : Baik, penyayang, sedikit jahil.
“Ini yang namanya benar-benar banteng kejepit.” Kata Maryam, yang biasanya tidak suka mengejek maupun berolok-olok.

7.      Teguh              : Lucu, jahil, nakal.
Teguh lebih suka kepada yang telah masak. Dia menolong menghitung kue kering tersebut, memasukkannya ke lodong atau kaleng. Kalau ibu atau Heratih tidak melihat, dari lima buah kue yang ada di tangannya, hanya tiga yang dihitung sambil bersuara keras. Sisanya segera menghilang ke dalam saku celana pendeknya.

c.       Latar
1.      Tempat            : Rumah                      
Di rumah berkali-kali terjadi perdebatan kecil mengenai keadaan hidup yang telah berubah.

2.      Suasana           : Menegangkan
Pertempuran berjalan selama lima hari penuh. Selama itu kami tidak keluar dari rumah. Bahkan membuka pintu ke kebun pun tidak. Untuk ke kakus yang terletak di bangunan belakang, kami menunggu redanya suara tembakan yang sering kedengaran gaduh dan dekat sekali. Beberapa kali kami bahkan merasa menjadi sasaran pertempuran.

3.      Waktu             : Malam hari
Pada suatu malam, aku terbangun oleh kesibukan yang terjadi di rumah. Dari ranjang, tiba-tiba aku mendengar suara senjata api.

d.      Alur                             : Campuran
            Teguh lebih suka kepada yang telah masak. Dia menolong menghitung kue kering tersebut, memasukkannya ke lodong atau kaleng. Kalau ibu atau Heratih tidak melihat, dari lima buah kue yang ada di tangannya, hanya tiga yang dihitung sambil bersuara keras. Sisanya segera menghilang ke dalam saku celana pendeknya, bercampur dengan segala macam benda yang telah ada di sana, berupa potong-potongan tali, karet blandring, kepingan kaca, kancing baju dan barangkali pula beberapa jenis binatang kecil.
            Ya, binatang kecil! Karena pernah terjadi, pada suatu subuh, Heratih kubangunkan. Kami berdua memasang telinga, mendengarkan suara katak yang tersekap di dalam kamar. Kami mencarinya, tidak berhasil. Ketika mengetahui ibu telah selesai sembahyang, kakakku keluar meminta bantuannya. Sekali lagi kami bertiga mencari asal suara kata itu. Akhirnya ibu menarik celana Teguh dari gantungan. Dari salah satu sakunya meloncatlah seekor katak coklat berlumutan.

e.       Amanat
1.      Dalam sebuah keluarga baiklah semua anggota keluarga saling menyayangi dan hidup rukun.
2.      Jadilah seorang anak yang selalu patuh kepada orang tua.
3.      Marilah kita meningkatkan jiwa nasionalisme dan cinta akan tanah air dan memperjuangkan kemerdekaan yang telah diperjuangkan para pahlawan sebelumnya.

f.       Gaya Bahasa
Sarkasme         : “Ini yang namanya benar-benar banteng kejepit.”

Metafora         : Kami semua keluar untuk menyaksikan burung-burung raksasa itu         bergerombolan di udara, terbang dengan megahnya.

Personifikasi   : Dia berbicara tenang, sambil mendekat dan mengelilingi pohon, seakan-akan hendak mengukur sampai di mana keperkasaan tanaman yang berani memenjarakan anaknya itu.

g.      Sudut Pandang
Novel “Padang Ilalang di Belakang Rumah” menggunakan sudut pandang orang pertama pelaku utama. Dibuktikan dari:
Oleh keadaan keuangan yang tidak mengizinkan, orang tuaku memutuskan hanya mempunyai pembantu sesedikit mungkin.

E. Unsur Ekstrinsik
1.      Nilai Sosial      : Hubungan keluarga Dini dengan masyarakat sekitar terjalin dengan baik.
2.      Nilai Budaya   : Pelaksanaan pertunangan dan pernikahan Heratih sesuai dengan adat setempat.
3.      Nilai Moral      : Menghormati nasihat orang tua.

F. Kelebihan
       Novel “Padang Ilalang di Belakang Rumah” karya Nh. Dini menngunakan kalimat dan bahasa yang mudah dipahami pembaca. Selain itu, beberapa penggunaan bahasa daerah disertai arti di bagian bawah novel.

F. Kelemahan
       Bentuk cerita yang disajikan terlalu bertele-tele. Mulai dari pengenalan hingga bagian konflik jaraknya sangat jauh.

G. Penutup
            Novel karya Nh. Dini yang berjudul “Pada Ilalang di Belakang Rumah” merupakan sebuah novel yang menceritakan keadaan sebuah keluarga di masa penjajahan Jepang. Novel ini mengajarkan kita untuk tetap saling menjaga kerukunan rumah tangga, saling menjaga, dan mengasih dalam segala situasi dan kondisi.

Sumber
Dini, Nh.2004.Padang Ilalang di Belakang Rumah.Jakarta:Gramedia.
Wikipedia

Tidak ada komentar:

Posting Komentar