Resensi Novel “Padang
Ilalang Di Belakang Rumah”
Oleh: Nh. Dini
(Sumber:https://www.google.co.id/search?q=padang+ilalang+di+belakang+rumah+identitas+novel&client+ms-android-oppo&prmd=inv&source=lnms&tbm=isch&sa=X&ved=0ahUKEwi9zPjBw5rQAhXEKY8KHf76DkQQ_AUIBygB&biw=360&bih=559#tbm=isch&q=+ilalang+di+belakang+rumah+identitas+novel+cover&imgrc=B4oJDs8dP4n_EM%3A)
A. Identitas Novel
a.
Judul Novel : Padang Ilalang di
Belakang Rumah
b.
Pengarang : Nh. Dini
c.
Tahun Terbit : 2004
B. Kepengarangan
Nurhayati
Srihardini Siti Nukatin, atau lebih dikenal dengan Nh. Dini, lahir di Semarang,
Jawa Tengah, 29 Februari 1936, usia 80 tahun, mengikuti Kursus Pramugari Darat
GIA Jakarta (1956), dan terakhir mengikuti kursus B-I Jurusan Sejarah (1957).
Tahun 1957-1960 bekerja di GIA Kemayoran, Jakarta. Setelah menikah dengan Yves
Coffin, berturut-turut ia bermukin di Jepang, Perancis, Amerika Serikat, dan
sejak 1980 menetap di Jakarta dan Semarang. Nh. Dini adalah sastrawan, novelis,
dan feminis Indonesia.
Karyanya: Dua Dunia (1956), Hati yang Damai (1961), Pada
Sebuah Kapal (1973), Sebuah Lorong di
Kotaku (1978), La Barka (1975), Namaku Hiroko (1977). Terjemahnnya: Sampar
(karya Albert Gamus, La Peste; 1985).
C. Sinopsis
Aku
hidup dalam sebuah keluarga yang berkecukupan dan sangat rukun. Aku anak bungsu
dari lima bersaudara. Kakakku yang paling tua di mulai dari Heratih, Nugroho,
Maryam, dan yang terakhir adalah Teguh. Saat penjajahan Jepang aku masih duduk
di bangku sekolah. Rumahku cukup besar dan halamannya cukup luas. Keluargaku
adalah keluarga yang cukup berada di kampungku. Di rumah inilah kami mengalami
berbagai peristiwa yang menyenangkan. Bersama hewan-hewan peliharaan dan
berbagai jenis tumbuhan yang menemani keseharian.
Sejak
kedatangan Jepang ke Indonesia menggantikan posisi Belanda sebagai penjajah,
keadaan ekonomi keluarga mengalami kemunduran. Hal ini membuat kedua orangtuaku
harus bekerja lebih ekstra. Ibu menerima pesanan kue kering dan memulai
membatik untuk menutupi sebagaian biaya hidup. Halaman rumah yang luas
dimanfaatkan ibu sebagai tempat membuat kue dan membatik. Dalam suasana itu aku
tetap tumbuh dalam kasih sayang kedua orangtuaku, kedua kakak perempuanku, dan
kedua kakak laki-lakiku. Aku juga memiliki dua adik sepupu yang kuanggap
seperti sahabatku. Edy Sedyawati dan adik perempuannya. Aku bersekolah di sekolah
rakyat Pendrikan Tengah. Di samping sekolah terdapat sebuah gedung kecil
bernama Eka Kapti. Disana aku menerima pendidikan tari dan gending. Heratih,
kakak tertuaku selesai sekolah mendapatkan pekerjaan di kantor telepon dekat
alun-alun. Dan akhirnya Heratih menikah dengan kepala kantor telepon di Kendal
yang bernama Utono. Ayahku yang bekerja di Stasiun Kereta Api semakin lama
semakin sulit mencukupi kebutuhan keluarga kami.
Suatu
hari kepala kampung mendapat perintah dari orang-orang Jepang yang berkuasa,
agar penduduk menyerahkan semua harta berharga yang mereka miliki.
Patung-patung dan barang-barang yang terbuat dari besi diambil para tentara
Jepang. Semua barang itu digunakan untuk dicairkan kembali dan dijadikan
senapan atau senjata perang lainnya. Dengan berat hati ibu melepaskan peniti
emas dari kebaya dan dua cincin untuk diserahkan kepada tentara Jepang.
Ternyata kebebasan yang dijanjikan Jepang hanya janji manis belaka.
Suatu
malam aku terbangun oleh kegaduhan yang terjadi. Saat itu aku mendengar suara
senjata api yang disusul oleh keributan orang di kampung. Penduduk berlarian,
berteriak dari arah tangsi polisi menuju ke arah sungai di belakang. Dari arah
tangsi semakin ramai keributan yang terdengar penghuninya berbondong-bondong ke
padang ilalang untuk menyebrang jembatan ke Batan. Ayah mengatakan bahwa akan
ada pemberontakan di kalangan pemuda PETA terhadap pemerintah Jepang. Ayah dan kakak-kakak lelakiku mulai mengatur
persediaan selama pertempuran terjadi. Karena ayah memerintahkan kami untuk
tetap diam di rumah dan tidak mengungsi. Pertempuran berjalan selama lima hari
penuh. Di dalam rumah kami hanya menyalakan lilin atau lampu teplok untuk
menambah sinar matahari yang masuk dari celah papan. Tetapi jika ada bunyi
senapan kami cepat-cepat memadamkannya. Selama itu kami hidup dalam kegelapan.
Cukup dengan sedikit nasib buruk, kami bisa menjadi korban peluru nyasar, yang
bisa membunuh siapa saja tanpa pandang bulu.
Beberapa
saat setelah itu, suasana tiba-tiba menjadi reda. Selama 1 jam kami tidak
mendengar suara tembakan di jalan kampung sebelah rumah. Dan mulailah terdengar
orang-orang yang melintasi jalan kampung. Begitu juga dengan kami. Begitu
mengejutkan, Maryam melihat lubang-lubang di dinding seng yang menjadi batas
halaman. Itu semua adalah bekas peluru. Kami pun berkumpul melihat da
mengamatinya dengan saksama. Kemudian diumumkan lewat radio bahwa pemberontakan
telah dipadamkan, dan penduduk pun diminta meneruskan kegiatan seperti
biasanya. Heratih dan Utono datang ke rumah kami. Bapak pun berangkat mencari
paman dan bibi. Sedangkan Teguh melanggar larangan kedua orang tua kami untuk
keluar rumah kembali dengan cerita yang menyeramkan. Sungai-sungai penuh dengan
bangkai-bangkai manusia, di sepanjang jalan mobil dan berbagai kendaraan rusak
dan terbakar. Itu semua adalah bekas peluru. Kami pun berkumpul melihat dan mengamatinya
dengan saksama.
Keesokan
harinya aku berangkat ke sekolah. Benar apa yang dikatakan kakakku, aku melihat
banyak bangkai-bangkai mayat yang bertumpukan basah dan berbau busuk. Beberapa
diantara mereka ada yang memegang bambu runcing dan galah. Kota kemudian
dibersihkan/rakyat bergotong royong mengeluarkan mayat dari sungai dan sumur
kemudian di kubur. Semua tampak lancar.
Hari-hari
berikutnya sering terdengar suara sirine tanda bahaya udara. Sirine itu hanya
terdengar pada waktu siang. Malam hari pemerintah kota membatasi kegiatan
sampai jam tujuh. Ayah menyimpulkan bahwa Jepang sedang mengundurkan diri dari
tanah Jawa. Ketika keadaaan menjadi tenang kembali, lalu lintas di langit
menjadi padat. Kami semua keluar untuk menyaksikan burung-burung raksasa itu
bergerombolan di udara, terbang dengan megahnya. Kata Ayah, itu adalah
pesawat-pesawat pengangkut.
Kemudian
keadaan menjadi tenang kembali. Untuk berapa lama? Tak seorangpun
mengetahuinya. Sudah beberapa kali kami tertipu oleh palsunya keredaan suasana.
Pagi itu kabar yang tersebar bahwa tentara Inggris telah dapat menguasai
keadaan. Sebentar lagi pemerintah kota akan disusun kembali. Memang betul! Sore
hari, pesawat-pesawat udara menyebarkan kertas propaganda, menyuruh penduduk
bersikap tenang, karena keamanan telah terjamin.
Dua
hari tanpa keributan. Ibu mulai berharap kehidupan akan benar-benar berlangsung
sebagaimana biasa. Beberapa hari setelah itu beredarlah kabar desas-desus bahwa
Indonesia telah merdeka. Berita tersebut segera tersebar ke seluruh warga
kampung. Setelah itu disusul oleh berita bahwa pemerintahan di Jakarta telah
hijrah ke Yogyakarta. Keadaan memang terasa genting. Dan hubungan antara
kota-kota yang diduduki tentara asing dengan daerah pedalaman pun terputus.
Keraguan pandangan menghadapi hari-hari yang akan datang.
D. Unsur-Unsur Intrinsik
a.
Tema : Perjuangan keluarga
penulis di masa penjajahan Jepang
b.
Tokoh dan
penokohan
1.
Dini : Baik, ceria, penurut, pintar
Sore itu juga aku dibawa ibu keluar. Kami tidak naik becak. Udara sore
selalu nyaman buat berjalan. Aku mengikuti ibuku dari belakang dengan
diam-diam.
2.
Ayah : Baik, tegas, lucu, bertanggung
jawab, bijaksana.
“Sabtu malam Edi kemari. Kita menonton wayang orang.” Tiba-tiba ayah
berkata.
3.
Ibu : Jujur, penuh kasih,
penyayang, pemurah
Makanan kering yang dimasak ibuku selalu lebih enak dan gurih daripada
yag terdapat di toko. Kata ibu, karena dia tidak curang, selalu mempergunakan
bahan-bahan sehat dan semestinya.
4.
Heratih : Baik dan penyayang
Kakakku sulung itu bersuara asal bersuara . Dalam hatinya, aku tahu, dia khawatir betul memikirkan nasib
adiknya.
5.
Nugroho : Lucu, penurut, jahil
“Awas! Kau akan berada di situ seterusnya. Kau akan menjadi monyet!
Setiap hari dikirim makanan, tapi kau harus hidup di pohon.”
6.
Maryam : Baik, penyayang, sedikit jahil.
“Ini yang namanya benar-benar banteng kejepit.” Kata Maryam, yang
biasanya tidak suka mengejek maupun berolok-olok.
7.
Teguh : Lucu, jahil, nakal.
Teguh lebih suka kepada yang telah masak. Dia menolong menghitung kue
kering tersebut, memasukkannya ke lodong atau kaleng. Kalau ibu atau Heratih
tidak melihat, dari lima buah kue yang ada di tangannya, hanya tiga yang dihitung
sambil bersuara keras. Sisanya segera menghilang ke dalam saku celana
pendeknya.
c.
Latar
1.
Tempat : Rumah
Di rumah berkali-kali terjadi perdebatan kecil mengenai keadaan hidup
yang telah berubah.
2.
Suasana : Menegangkan
Pertempuran berjalan selama lima hari penuh. Selama itu kami tidak
keluar dari rumah. Bahkan membuka pintu ke kebun pun tidak. Untuk ke kakus yang
terletak di bangunan belakang, kami menunggu redanya suara tembakan yang sering
kedengaran gaduh dan dekat sekali. Beberapa kali kami bahkan merasa menjadi
sasaran pertempuran.
3. Waktu : Malam hari
Pada suatu malam, aku terbangun oleh kesibukan yang terjadi di rumah.
Dari ranjang, tiba-tiba aku mendengar suara senjata api.
d.
Alur : Campuran
Teguh
lebih suka kepada yang telah masak. Dia menolong menghitung kue kering
tersebut, memasukkannya ke lodong atau kaleng. Kalau ibu atau Heratih tidak
melihat, dari lima buah kue yang ada di tangannya, hanya tiga yang dihitung
sambil bersuara keras. Sisanya segera menghilang ke dalam saku celana pendeknya,
bercampur dengan segala macam benda yang telah ada di sana, berupa
potong-potongan tali, karet blandring, kepingan kaca, kancing baju dan
barangkali pula beberapa jenis binatang kecil.
Ya,
binatang kecil! Karena pernah terjadi, pada suatu subuh, Heratih kubangunkan.
Kami berdua memasang telinga, mendengarkan suara katak yang tersekap di dalam
kamar. Kami mencarinya, tidak berhasil. Ketika mengetahui ibu telah selesai
sembahyang, kakakku keluar meminta bantuannya. Sekali lagi kami bertiga mencari
asal suara kata itu. Akhirnya ibu menarik celana Teguh dari gantungan. Dari
salah satu sakunya meloncatlah seekor katak coklat berlumutan.
e.
Amanat
1.
Dalam sebuah
keluarga baiklah semua anggota keluarga saling menyayangi dan hidup rukun.
2.
Jadilah seorang
anak yang selalu patuh kepada orang tua.
3.
Marilah kita
meningkatkan jiwa nasionalisme dan cinta akan tanah air dan memperjuangkan
kemerdekaan yang telah diperjuangkan para pahlawan sebelumnya.
f.
Gaya Bahasa
Sarkasme : “Ini
yang namanya benar-benar banteng kejepit.”
Metafora : Kami
semua keluar untuk menyaksikan burung-burung raksasa itu bergerombolan di udara, terbang dengan
megahnya.
Personifikasi : Dia
berbicara tenang, sambil mendekat dan mengelilingi pohon, seakan-akan hendak
mengukur sampai di mana keperkasaan tanaman yang berani memenjarakan anaknya
itu.
g.
Sudut Pandang
Novel
“Padang Ilalang di Belakang Rumah” menggunakan sudut pandang orang pertama
pelaku utama. Dibuktikan dari:
Oleh keadaan keuangan yang tidak mengizinkan, orang
tuaku memutuskan hanya mempunyai pembantu sesedikit mungkin.
E. Unsur Ekstrinsik
1.
Nilai Sosial : Hubungan keluarga Dini dengan masyarakat
sekitar terjalin dengan baik.
2.
Nilai Budaya : Pelaksanaan pertunangan dan pernikahan
Heratih sesuai dengan adat setempat.
3.
Nilai Moral : Menghormati nasihat orang tua.
F. Kelebihan
Novel “Padang Ilalang di Belakang Rumah” karya Nh. Dini
menngunakan kalimat dan bahasa yang mudah dipahami pembaca. Selain itu,
beberapa penggunaan bahasa daerah disertai arti di bagian bawah novel.
F. Kelemahan
Bentuk cerita yang disajikan terlalu bertele-tele. Mulai dari
pengenalan hingga bagian konflik jaraknya sangat jauh.
G. Penutup
Novel karya Nh. Dini yang berjudul “Pada Ilalang di
Belakang Rumah” merupakan sebuah novel yang menceritakan keadaan sebuah
keluarga di masa penjajahan Jepang. Novel ini mengajarkan kita untuk tetap
saling menjaga kerukunan rumah tangga, saling menjaga, dan mengasih dalam
segala situasi dan kondisi.
Sumber
Dini, Nh.2004.Padang Ilalang di Belakang Rumah.Jakarta:Gramedia.
Wikipedia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar